Serahkan Keputusan Berkoalisi Kepada Pengurus Parpol di Daerah
Ocit Abdurrosyid Siddiq
(Anggota Dewan Pakar ICMI Kabupaten Tangerang)
foto: dok. pribadi
Menjelang Pilkada serentak yang akan digelar pada 27 November 2024 nanti, saat ini partai-partai politik sedang sibuk mengatur strategi untuk menentukan siapa yang bakal diusung sebagai calon kepala daerah, baik untuk tingkat provinsi, juga tingkat kabupaten dan kota.
Pengusungan calon kepala daerah sepenuhnya menjadi kewenangan partai politik. Sementara Komisi Pemilihan Umum atau KPU hanya bertugas menerima pendaftaran, melakukan penelitian berkas, dan menetapkannya sebagai calon.
Tiap partai politik memiliki ketentuan masing-masing dalam proses pengusungan calon kepala daerah. Walau demikian, mereka memiliki kesamaan prosedur dan mekanisme. Yaitu bahwa penetapan calon kepala daerah diputuskan oleh pengurus pusat partai politik.
Setiap peserta Pemilu, yaitu partai politik, telah memiliki kepengurusan di berbagai tingkatan. Di level pusat disebut dengan Dewan Pimpinan Pusat atau DPP, atau sebutan lain. Di level provinsi biasanya disebut dengan Dewan Pimpinan Wilayah atau DPW, atau sebutan lain. Di level kabupaten dan kota biasa disebut dengan Dewan Pimpinan Daerah atau DPD, atau sebutan lain.
Pengurus DPP dipimpin oleh seorang Ketua Umum hasil Kongres, Muktamar, atau sebutan lain. DPW dipimpin oleh seorang ketua hasil Musyawarah Wilayah atau sebutan lain. Sementara DPD dipimpin oleh seorang ketua hasil Musyawarah Daerah atau sebutan lain.
Masing-masing jenjang kepengurusan memiliki sebagian kewenangan, dan kewenangan lain kadang menjadi urusan pengurus pusat. Kewenangan yang menjadi urusan pengurus pusat ini diantaranya adalah penetapan nama calon kepala daerah.
Tidak ada kesepakataan diantara partai-partai politik itu perihal kewenangan penetapan calon kepala daerah. Namun pada umumnya, bahkan hampir semua partai politik menerapkan ketentuan tersebut. Bahwa penetapan calon kepala daearah baik untuk Gubernur, Bupati, dan Walikota, kewenangannya ada di pusat. DPW dan DPD tidak memiliki otoritas untuk itu.
Kita lihat misalnya baru-baru ini Kaesang Pangarep yang walaupun baru menjabat dan masih muda, dengan kapasitasnya sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia atau PSI, menyerahkan surat keputusan kepada para calon kepala daerah se Indonesia yang diusung oleh PSI.
Atau Airlangga Hartarto yang adalah Ketua Umum Partai Golkar, Zulkifli Hasan Ketua Umum Partai Amanat Nasional, Surya Paloh Ketua Umum Partai Nasdem, Prabowo Subianto Ketua Umum Partai Gerindra, Muhaimin Iskandar Ketua Umum PKB, dan para Ketua Umum partai politik lainnya, menyerahkan Surat Keputusan atau SK kepada para calon kepala daerah yang diusung oleh partai politik masing-masing.
Mafhumnya, untuk pencalonan kepala daerah, setiap Ketua Umum partai politik menetapkan kadernya yang bakal diusung. Namun menariknya, kadang nama yang diusung oleh partai politik sebagai calon kepala daerah justru bukan kader partai politik sendiri. Misalnya untuk Sumatera Utara pada Pilkada tahun ini, beberapa partai politik mengusung Bobby Nasution.
Bobby saat ini menjabat sebagai Walikota Medan. Pada Pilkada Kota Medan tahun 2020 dia merupakan kader PDIP dan diusung oleh partai tersebut sebagai calon Walikota Medan. Pada Pilkada waktu itu dia meraih suara terbanyak dan terpilih sebagai Walikota Medan 2020-2025.
Menjelang Pilkada serentak 2024 ini, Bobby maju sebagai calon Gubernur Sumatera Utara. Untuk kepentingan itu, dia berpindah partai dari PDIP ke Partai Gerindra. Partai Gerindra sendiri sudah mengeluarkan SK untuk mengusung Bobby sebagai calon Gubernur Sumatera Utara untuk periode mendatang.
Keputusan Partai Gerindra yang mengusung Bobby sebagai calon Gubernur Sumatera Utara, telah ditandatangani Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Karena Bobby diperkirakan akan meraih banyak suara dan menjadi yang terpilih, banyak partai politik lainnya yang juga mengusung dia, dan tidak mengusung kader sendiri.
Selain oleh Partai Gerindra, dukungan juga datang dari Partai Golkar dan Partai Demokrat, juga PAN, yang merupakan anggota Koalisi Indonesia Maju atau KIM pada saat mereka bersama-sama mengusung Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Gibran Rakabuming ketika Pemilu 2024 yang lalu.
Partai politik lain yang notabene rival KIM pada saat pemilu 2024 lalu, seperti Partai Nasdem, PKB, dan PPP, juga mengusung Bobby sebagai calonnya. Bahkan PKS yang selama ini lebih suka memilih menjadi oposisi bagi pemerintahan, akhirnya mengusung Bobby sebagai calon Gubernur Sumatera Utara.
Bobby merupakan menantu Jokowi, yang adalah Presiden RI saat ini. Selama pemerintahan Jokowi, PKS selalu berada di luar pemerintahan. PKS terkenal bersikap kritis terhadap Jokowi. Kini, untuk kepentingan Sumatera Utara, PKS “terpaksa” berkoalisi dengan “dinasti Jokowi”. Untuk Sumatera Utara hanya meninggalkan PDIP yang berpotensi mengusung calon lain di luar Bobby.
Lain halnya di Banten. PKS sejak awal menugaskan kadernya Dimyati Natakusumah, anggota DPR RI dari PKS yang juga mantan Bupati Pandeglang dua periode, sebagai calon Gubernur Banten. Namun yang terjadi adalah dia menjadi calon Wakil Gubernur Banten mendampingi Andra Soni dari Partai Gerindra sebagai calon Gubernur Banten.
Padahal sejak dini Dimyati telah mendeklarasikan dirinya sebagai bakal calon Gubernur, bukan Wakil Gubernur. Bahkan dari tingkat popularitas serta elektabilitasnya, dia masih lebih unggul dibanding Andra Soni. Tapi karena keputusan pengurus pusat adalah sebagai penentunya, maka dia harus menerima walau tidak selaras dengan skenarionya.
Fenomena penetapan calon kepala daerah kepada orang yang bukan kader partai politik oleh pengurus pusat banyak terjadi di beberapa daerah. Bisa jadi hal itu dilakukan karena pertimbangan peluang menangnya sangat besar.
Artinya, daripada memaksakan kader sendiri untuk maju sementara elektabilitasnya rendah, maka lebih baik mengusung calon yang berpotensi menang, walapun yang bersangkutan merupakan kader partai politik lain.
Situasi seperti ini terjadi akibat dari ketentuan bahwa yang berwenang menetapkan siapa yang akan diusung oleh partai politik untuk calon kepala daerah, adalah pengurus pusat. Padahal, akan lebih baik bila kewenangan itu diberikan kepada pengurus partai politik sesuai dengan jenjangnya. Mengapa? Karena antara lain mereka lah yang lebih tahu peta politik dan kondisi faktual di daerah.
Misalnya, untuk menetapkan siapa yang akan diusung sebagai calon Gubernur Banten oleh partai politik tertentu, maka yang memiliki kewenangan itu adalah pengurus DPW partai politik tertentu itu di level provinsi. Siapa yang akan diusung sebagai calon Bupati Pandeglang oleh partai politik tertentu, menjadi kewenangan pengurus DPD partai politik tertentu itu di level kabupaten. Artinya tidak diintervensi atau ditetapkan oleh DPP.
Dengan begitu, tidak akan muncul sikap saling sandera, menyangkut-pautkan persoalan dan kepentingan lain yang tidak berhubungan langsung dengan hajat Pilkada di suatu daerah, dengan agenda lainnya. Hal ini seperti yang terjadi di Banten. Hingga kini, ketika pasangan Andra-Dimyati sudah ditetapkan oleh Koalisi Banten Maju atau KBM, sementara Airin Rachmy Diani, calon lain dari Partai Golkar, belum mendapatkan kepastian.
Beredar kabar, pengurus tingkat DPP masih melakukan negosiasi atas rencana mengusung Airin sebagai calon Gubernur Banten yang akan diusung oleh Partai Golkar. Negosiasi itu dikaitkan dengan rencana pengusungan calon Gubernur di Jawa Barat, di DKI Jakarta, serta tawaran dari Prabowo kepada Partai Golkar untuk menempatkannya sebagai kandidat salah satu anggota kabinetnya pada pemerintahannya.
Hari ini, Minggu, 4 Agustus 2024, bertempat di Hotel Yasmin Karawaci Tangerang, 10 partai politik di Banten telah dipastikan mengusung pasangan Andra-Dimyati sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur Banten. Menyisakan 2 partai politik yaitu Partai Golkar dan PDIP. Waktu pendaftaran ke KPU kurang dari 3 minggu lagi. Namun kedua partai politik itu belum jelas arahnya.
Bila Partai Golkar berkoalisi dengan PDIP dan mengusung pasangan Airin dengan Ade Sumardi, yang adalah Ketua DPW PDIP Provinsi Banten, maka Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Banten hanya akan diikuti oleh dua pasangan tersebut.
Tapi bila ternyata ada hal lain di luar prediksi, misalnya PDIP malah bergabung dengan KBM, maka ceritanya akan lain. Airin yang notabene kandidat paling populer sebagai calon Gubernur Banten sesuai hasil survey beberapa lembaga, bisa jadi urung karena tidak punya kendaraan yang menghantarkannya untuk menjadi Banten 1.
Tidak akan begini ceritanya bila kewenangan menetapkan calon kepala daerah itu diserahkan kepada pengurus partai politik sesuai dengan tingkatannya. Dengan begitu, biarkan kepentingan level nasional menjadi urusan pengurus partai politik tingkat pusat, perkara pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur menjadi urusan pengurus DPW, dan perkara pencalonan Bupati dan Walikota menjadi urusan pengurus DPD.
Mereka lah yang lebih tahu dan lebih paham perihal kondisi faktual daerah, peta politik, dan potensi kemenangan. Biarkan mereka sendiri untuk mencari tandem calon wakilnya. Sehingga ketika mereka terpilih dan dilantik sebagai kepala daerah, memiliki chemistry karena hasil pilihan sendiri, dibanding keputusan pusat yang pada situasi tertentu seperti pemaksaan dan dipaksakan.
Komentar
Posting Komentar